Setitik Penat
Hilang arti. Ah, semoga tidak
begitu. Menyimpulkan sesuatu yang tak perlu disimpulkan. Kenapa semua pola ini
terlalu rumit? Kenapa segala rutinitas begitu membosankan? Di dunia kecil ini yang penuh kisah dari
berbagai kalangan, di dunia kecil ini yang penuh konflik mulai dari lapisan
teratas hingga lapisan terbawah. Saat kau mendapat kesempatan untuk memimpin 8%
bagian dari lapisan tersebut, saat kau harus menjadi seorang nahkoda untuk
mereka, apa yang akan kau lakukan?
Benahi selagi bisa. Yap, itu benar. Tentunya, benahi
segala sesuatu yang salah namun masih dalam koridor kemampuan diri. Sesuatu
yang salah. Itu yang menjadi sebuah pertanyaan. Yang manakah sesuatu yang salah
itu? Apa yang disebut sebagai sesuatu yang salah? Dan, salah dimata siapa?
Persepsi dan penafsiran setiap orang pasti berbeda-beda, namun mustahil kita tidak
memiliki parameter yang absolut mengenai sebuah kebenaran dan sebuah kesalahan.
Lantas, bagaimana cara kita memahami, mengamini dan meyakini parameter
tersebut?
Seringkali kita bingung dengan apa yang disepakati
oleh sekelompok mayoritas dengan parameter yang juga diakui bersama. Parameter yang
dimaksud bisa saja sebuah kitab, dogma, norma atau aturan. Ucap kita mungkin
selalu membenarkan dan meyakini parameter tersebut, namun aksi seringkali
berbeda. Aksi seringkali berbanding terbalik. Pada akhirnya, aksi mampu
membalikkan akal. Maka, akal dengan sendirinya memberikan pembenaran atas aksi
yang salah itu. Setelah itu, muncullah paradigma yang menentang sebuah
parameter yang justru terbukti keabsahannya. Ah, sayang sekali. Paradigma yang
terbentuk dalam proses yang salah akan sangat sulit diatasi agar menjadi
paradigma yang benar. Artinya, para manusia yang selalu mencari pembenaran akan
selalu menang dalam segala hal. Mereka licik, picik bahkan biadab. Mereka, tak
berprinsip dan selalu merasa paling benar.
Dunia kecil inilah miniatur dari besarnya pemahaman
tersebut. Berada dalam sebuah lingkaran yang mulai tak membentuk lagi. Seperti
bernama lingkaran, namun sebenarnya segitiga. Setiap sudutnya tak terlihat.
Tertutupi oleh abu-abunya pandangan. Tak mau melihat kesana dan tak mau peduli.
Biarlah, hidup ini seperti ditentukan oleh pandangan kebanyakan orang. Yang
sedikit, dibungkam. Yang sedikit, dikebiri. Yang sedikit, disalahkan. Hukum
alam yang menakjubkan.
Segolongan manusia yang sedikit tentunya merasa
takut dan tak bisa berbuat apa-apa. Segelintir manusia memilih jadi acuh tak
acuh. Semuanya dibiarkan begitu saja mengikuti dialektika zaman yang semakin
modern. Ah, maksudku zaman yang semakin hancur. Semua umat manusia tak pernah
menemukan kebenaran sejati. Begitu juga kedamaian, keadilan dan ketentraman
hidup yang tak pernah ditemukan. Setiap harinya tak luput dari berbagai bentuk
kriminalitas. Tapi sebentar, apakah parameter kriminalitas kita sama? Lagi-lagi
kita berbeda pandangan.
Tentunya akan selalu ada mereka yang berani
membenarkan sesuatu yang terlihat sebagai sebuah kesalahan. Yang mutlak salah
pun bisa saja dibenarkan. Semua itu tergantung seberapa banyak suara yang
memilih bahwa itu adalah kebenaran atau justru kesalahan. Yang diam, yang
bingung, yang merasa terbuanglah yang akan menjadi korban. Keberuntungan akan
selalu berpihak pada para penganut kepentingan.
Sebagai kerdilnya manusia, seberapa
sering merasa tertindas? Seberapa takut dengan sesama pemakan nasi? Sudah
sepantasnya kita melawan mereka yang merasa berkuasa dengan segala
pembenarannya. Karena semakin kita tunduk pada mereka, maka mereka akan semakin
meraja. Semakin kita bungkam, mereka tak akan pernah berhenti memakan korban. Karena
sungguh, yang mereka takutkan adalah sebuah kebenaran. Kebenaran yang dijunjung
tinggi oleh seluruh manusia. Kebenaran
yang disuarakan oleh banyak orang.
Jika begitu, maka langkah pertama ialah
bagaimana agar kita memiliki satu prinsip atau parameter kebenaran yang
sama-sama kita dukung, sama-sama kita junjung. Kedua, bagaimana caranya agar
kita memiliki pandangan yang sama mengenai suatu permasalahan. Ketiga, apa aksi
yang akan kita lakukan bersama-sama. Tentunya, kekompakan, kepercayaan dan
kolaborasi sangat diperlukan dalam hal ini.
Baiklah, selesai. Itu semua hanyalah
pikiranku yang kutumpahkan dalam lelahku. Aku sendiri merasa pusing dengan
keadaan ini. Ya, aku paham mengenai semua itu. Aku sudah berani mengambil
peran, namun belum sampai pada tujuan. Terkadang, ingin menyerah. Tapi,
perjuangan masih panjang. Usahaku belum maksimal, jadi tak perlu menyimpulkan
sekarang. Dunia kecil ini sungguh memberiku banyak pelajaran, dan juga
memunculkan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya.
Bolehkah aku bertanya padamu, apa peran
yang kau ambil dalam dunia kecil itu?
Mungkin, sebatas pengikut kebenaran tapi tak punya kekuasaan
ReplyDeleteYa memang seperti itu
Delete