Wajah Keadilan Tuhan
Andaikan orang-orang tahu diriku yang
sejatinya seperti apa. Aku tak menyalahi orang yang selalu memandang diriku
punya banyak kelebihan, aku pun tak menyalahi sesiapapun yang memandang diriku
penuh dengan kekurangan. Jujur, aku lebih suka orang yang memandangku dari dua
sisi. Dia yang selalu melihat diriku dari sisi kekurangan dan kelebihanku,
bukan yang hanya memandangku dengan sebelah mata. Ya, bukankah kita lebih
membutuhkan orang yang memahami kita apa adanya daripada manusia yang penuh
dengan tuntutan idealisnya? Untuk apa pula kita berjalan dengan orang yang
hanya siap dengan kelebihan kita saja tanpa mau peduli dengan kekurangan kita yang
sesungguhnya?
Terkadang, memilih orang yang hanya siap
dengan kelebihan kita adalah sebuah kesalahan yang cukup fatal dalam hidup. Coba
jawab pertanyaanku, “Seberapa sering kau ingin terlihat baik di mata orang yang
kau harapkan?” atau “Seberapa sering kau berusaha meyembunyikan kekuranganmu
dari orang yang kau harapkan?”
Tak ada salahnya kita ingin terlihat
baik di mata orang. Namun, jika dipikirkan kembali, apakah kau tak lelah dengan
semua itu? Reputasi, citra, asumsi orang-orang tentangmu. Untuk apa semua itu? Atau kau terjebak dalam
ekspetasi orang-orang? Sedang Tuhan di atas sana sedang menertawaimu.
Manusia sering kecewa dengan dirinya
sendiri atau bahkan orang lain. Ia berhak kecewa terhadap dirinya, tapi
bagaimana dengan kekecewaannya terhadap orang lain? Bahkan yang ada selalu
berlebihan saat mengekspresikannya. Yang dulu menyemangati, kenapa hari ini
mesti kecewa? Kata semangat seolah ancaman yang ketika kita tak mampu
melaksanakan sesuatu sesuai ekspetasi orang itu maka ia akan kecewa. Toh, siapa pula yang menyuruh dia
berekspetasi?
Setidaknya kita tahu apa maksud dia
menyemangati. Mungkin memotivasi, mungkin memberi dukungan, tapi mungkin juga
ancaman. Kita bisa tahu lewat reaksinya ketika berhasil-tidaknya kita
melaksanakan sesuatu itu. Apakah dia akan bersyukur ketika kita berhasil?
Apakah dia akan tetap bersyukur ketika kita gagal karena setidaknya kita telah
berusaha?
Kadang seperti itu, hidup seolah sebuah
tuntutan. Atau memang benar bahwa kita hidup adalah sebuah tuntutan dan sebuah
paksaan? Dan apabila manusia berhak memilih, ia bisa saja memilih untuk tidak
hidup. Sebab, ia tak kan siap dengan konsekuensi menjalani kehidupan. Tapi,
bagaimana mungkin?
Perihal kenyataan. Semua ini memang
bagian dari takdir. Mulai dari kekurangan dan kelebihan yang kita miliki hingga
semua tentang pandangan antar-manusia. Mungkin yang lebih pantas dibicarakan
adalah masa depan. Ya, tentang nanti. Masa depan pasti relevan dengan kehidupan
hari ini. Kita hari esok akan tergantung pada kita hari ini. Dan tentang takdir
esok, pasti ada kaitannya dengan pilihan-pilihan yang kita buat di hari ini.
Dulu, aku berpikir jika Tuhan Maha Adil,
bagaimana mungkin orang yang beriman bisa saja masuk neraka? Misal, ketika
orang itu berbuat dosa kecil dan menghalanginya untuk pergi ke surga atau
ketika orang itu terhasut tipu daya dajjal. Kenapa? Padahal dia amatlah beriman.
Tapi sekarang aku paham. Tuhan menggariskan semua itu bukan tanpa sebab. Pasti
ada perbuatan manusia itu yang menyalahi. Bisa saja perbuatan hati, dsb. Jangan
pernah berpikir bahwa itu adalah rencana jahat Tuhan bagi orang beriman itu,
tapi berpikirlah bahwa orang tsb berbuat seperti itu karena atas dasar pilihan
yang dia buat, berdasarkan kehendaknya meskipun pada akhirnya semua akan
kembali pada kehendak-Nya.
Namun, percayalah bahwa Tuhan Maha Adil.
Dia pasti akan menghargai siapapun yang berjuang di jalan-Nya. Tak peduli
apakah dia berhasil maupun gagal. Tuhan tetaplah Tuhan Yang Maha Adil. Tuhan
yang akan selalu menghargai setiap usaha hamba-Nya yang sarat akan kekurangan
dan kelemahan.
Comments
Post a Comment